Meraup berkah di lereng Gunung Butak

Eramuslim – Masya Allah…begitu indah pegunungan ini! Untuk pertama kalinya selama hidup saya menginjakkan kaki di puncak pegunungan pinggiran Laut Selatan dengan jalan kaki. Dengan ditemani Puni, ayah dua orang anak, dari Desa Besuki, Kecamatan Munjungan, kami menelusuri hutan-hutan menuju Salamwates, Kecamatan Dongko, Trenggalek Selatan, Jawa Timur. Saya minta Pak Puni, berhenti berkali-kali karena sudah lama saya tidak pernah memanjat gunung. Hingga sampai di puncak saya berucap “Subhanallah…, betapa sempurnanya ciptaanMu ya Allah…..!”

Itulah babakan pertama saya melangkahkan kaki di sebuah daerah yang bagi sementara orang kering, tidak menjanjikan apa-apa. Salamwates adalah desa terpencil. Mencapainya diperlukan waktu satu setengah jam perjalanan dari Trenggalek ke pusat kecamatan, kemudian jalan kaki selama dua jam untuk sampai di mulut desa. Jangan kaget, jaraknya tidak kurang dari 8 km berbatu-batu, naik turun! Waktu itu tidak ada sarana kendaraan bermotor sama sekali. Pertama saya tempuh bahkan dengan melewati pegunungan dari kecamatan sebelahnya, Munjungan. Jalan darat bisa dilewati namun harus memutar, dan butuh sekitar 3 jam lebih, antara Munjungan dan Dongko.

Siapa yang pernah menyangka bahwa saya akan ‘terdampar’ di daerah terpencil seperti Salamwates? Tidak ada lain, kecuali kehendak Allah semata. Siapa pula pernah mengira bahwa di daerah pegunungan yang tidak banyak penduduknya ini ternyata kemudian membuahkan rejeki yang banyak bagi saya? Alhamdulilah. Kehidupan di kota yang saya jalani di Malang, dengan segala kesibukan dan beragam pekerjaan sampingan, ternyata tidak melebihi penghasilan yang saya peroleh di pegunungan tersebut. Orang tidak akan percaya bahwa tempat dimana saya tinggal waktu itu, Gunung Butak, yang dihuni oleh delapan rumah saja, ternyata memberikan kesibukan kepada saya ‘luar biasa’! Allah SWT memberikan rejeki kepada siapa saja yang dikendaki tanpa disangka-sangka.

Betapa beratnya bergelar pengangguran. Ketika proses rekrutmen tenaga kerja Indonesia (TKI) berakhir, sesuatu diluar dugaan terjadi. Perang Teluk! Irak-Kuwait! Resiko yang saya hadapi adalah menunggu hingga perang usai. Perusahaan tempat saya kerja dari semula tidak mengijinkan saya untuk mengambil cuti sekedar mengikuti training. Dihadapkan kepada kondisi yang demikian, saya harus memilih: ikut training atau terus kerja? Saya akhirnya memilih alternatif pertama yang resikonya: nganggur jika batal berangkat ke luar negeri.

Apa yang saya kuatirkan terjadi. Saya kasihan kepada Ibu yang butuh dukungan finansial setiap bulannya. Alhamdulillah saya memiliki bekal ketrampilan yang bisa saya ‘jual’ kepada mereka yang membutuhkan. Dari satu kota ke kota lainnya selama beberapa bulan pertama pengangguran saya gunakan untuk memberikan kursus Bahasa Inggris. Sayangnya kegiatan ini tidak berlangsung lama. Sengaja saya tidak mau mencari pekerjaan yang formal, karena kuatir sewaktu-waktu ada panggilan dari Jakarta. Yang nonformal pun jadi, asalkan halal. Profesi keperawatan yang saya miliki mendorong saya untuk mengamalkannya. Bagi saya, ilmu yang diamalkan adalah bagian dari ibadah yang mulia disisi Allah. Hanya saja untuk memulainya tidak mudah. Saya tidak tahu harus bagaimana.

Beruntung seorang rekan saya di Munjungan bersedia membantu kesulitan finansial ini. Saya katakan saya mau menjadi asistennya. Kala dia kerja, sayalah yang melayani pasiennya. Kegiatan ini berlangsung tidak labih dari dua bulan. Saya yang barangkali terlalu perasa. Pada akhirnya memutuskan untuk tidak tinggal lagi bersamanya. Saya minta ijin kepadanya untuk membuka praktek, di kecamatan yang sama, tapi di desa yang berbeda. Besuki, tempat dimana saya memulai praktek sendiri. Di desa tersebut alhamdulilah saya diterima oleh masyarakat, bahkan sang Kepala Desa sering meminta bantuan kepada saya. Kembali lagi, entah karena barangkali merasa kurang ‘sreg’, saya ingin pindah lagi!

Rejeki harus dicari! Demikian prinsip saya. Dalam kondisi yang demikian, berjalan dari desa satu ke lainnya di wilayah yang bergunung-gunung adalah keseharian hidup saya waktu itu. Hampir tiap minggu rasanya saya harus ganti sandal jepit, karena medan tempat saya tinggal tergolong keras! Kalau bersepatu, terlalu mahal. Jalan utama adalah jalan raya. Selebihnya naik-turun pegunungan, tanpa sarana transportasi, apalagi listrik!

“Ya Allah…sampai kapan hidup saya akan seperti ini?” pertanyaan ini acapkali mengganggu konsentrasi saya utamanya disaat-saat saya berjalan sendiri ditengah-tengah pegunungan. Mengganggu keyakinan akan pentingnya bersyukur dan menghadapi kenyataan hidup. Hanya hembusan angin, suara burung, gesekan dedaunan serta gemericik air pegunungan yang menyertai perjalanan saya setiap kali saya harus mengunjungi seorang pasien yang membutuhkan layanan kesehatan. Tetapi orang-orang sana, subhanallah, begitu baik kepada saya. Makanan, minuman, tempat tinggal bukan masalah!

Tenaga kesehatan amat langka disana. Di satu kecamatan saja, waktu itu, hanya terdapat satu dokter dan empat perawat. Yang saya dengar dari masyarakat, mereka begitu bersyukur saya bisa berada ditengah-tengah mereka. Setidaknya meringankan beban mereka. Tidak perlu jauh-jauh pergi ke puskesmas, apalagi sulit memperoleh kendaraan. Dan bila malam tiba, petugas kesehatan dari kota mana yang mau datang mengunjungi mereka ditengah-tengah hutan betapapun dibayar mahal? Dalam kondisi yang begini, kembali lagi pertanyaan yang sama mengusikku “Ya Allah..sampai kapan hidup saya akan begini terus?”

Saya tidak penah berceritera kepada Ibu apa yang terjadi disana. Yang saya ceriterakan hanyalah kebahagiaan semata. Biasanya setiap dua pekan sekali saya mengunjungi beliau. Sebagaimana sikap orang desa umumnya kepada seorang tenaga kesehatan, mereka begitu ‘loman’. Hampir setiap kali saya pulang ke Malang, yang namanya oleh-oleh, mulai dari beras, kelapa, kopi, ikan laut, dan lain-lain, tidak pernah lepas dari genggaman tangan ini. Mereka antar saya sampai ke jalan raya, bahkan ke Trenggalek kota.

Sulit dibayangkan, bahwa saya akhirnya memutuskan tinggal di puncak Gunung Butak. Gunung kecil yang terletak di ujung Kecamatan Dongko sebelah timur itu adalah batas terakhir dengan Munjungan. Saya tinggal di rumah seorang petani ‘miskin’, Samingan namanya. Saya katakan ‘miskin’ karena sebenarnya kenyataannya tidak demikian. Ayah beranak satu ini, tidak ubahnya pahlawan bagi saya. Dia barangkali secara materi miskin, akan tetapi kaya hati! Rumah gedeknya layaknya istana. Keramah-tamahan seluruh anggota keluarganya yang diberikan kepada saya, tidak bedanya dengan saudara sendiri. Penginapan, makanan, semuanya gratis diberikan kepada saya. Subhanallah! Pada jaman moderen seperti ini, dimana kita bisa mendapatkan kemurahan seperti yang saya peroleh dari rumah kecil di puncak Butak? Allah Maha Besar!

Setiap pagi, saya mandi di pancuran belakang rumah. Air yang kami gunakan untuk minum, mandi dan wudhlu, dari pegunungan yang ditampung dengan slang plastik atau bambu oleh Samingan. Dingin sekali! Sekitar dua ratus meter bila naik ke puncak gunung, saya akan bisa melihat indahnya Laut Selatan, Lautan Indonesia yang luas membentang yang membuat saya geleng-geleng kepala sembari mengagumi ciptaanNya. Subhanallah! Betapa sempurnanya ciptaanMu.

Aku kadang merasa asing sekali. Tanpa saudara atau teman, kemudian terdampar di daerah terpencil, diatas gunung yang dihuni tidak lebih dari tiga puluh orang. Desa Salamwates memang terdiri dari beberapa perkampungan (dukuh). Namun jarak dari dukuh yang satu ke lainnya rata-rata jauh, dan dibatasi oleh sawah, ladang, bahkan hutan-hutan kayu pinus. Keseharian masyarakat setempat adalah bertani cengkeh, menanam ubi, atau mencari karet pinus. Rata-rata mereka tidak terlalu berpikir tentang kebutuhan sekunder, tidak seperti orang kota. Karena itu, biar tanpa uang, mereka umumnya tidak nampak susah, karena makanan sehari-hari sudah tersedia di ladang dan sawah mereka. Subhanallah!

Hampir setiap pagi-pagi sekali sudah ada saja orang-orang yang antrian mengundang saya untuk mengunjungi sanak keluarganya yang sakit. Mereka berasal dari berbagai dukuh, desa, hingga kecamatan. Sulit sekali dipercaya, rumah terpencil yang saya huni ternyata begitu membawa rejeki yang besar. “Dan kamu tidak akan pernah menyangka akan datang dari mana rejeki yang Aku berikan kepadamu”, demikian kebesaran Allah atas nikmat-nikmat yang dilimpahkanNya kepada hambaNya.

Terkadang saya diantar Samingan untuk menemui orang-orang, namun tidak jarang saya harus sendiri, karena dia juga memilki tugas dan tanggunjawab sebagai kepala keluarga. Beberapa anak-anak muda di Gunung Butak biasanya juga senang sekali menemani kepergian saya, meskipun seringkali harus jalan sejauh sepuluh kilometer pulang pergi. Yang ada di tangan saya biasanya, selain tas kecil berisi obat-obatan juga payung, lampu senter, dan sudah tentu sandal jepit.

Jika musim hujan tiba, medannya sulit sekali. Licin. Beberapa kali saya jatuh. Tapi alhamulillah sesudah itu saya ‘ahli’. Orang-orang sekitar hingga terheran-heran melihat ‘stamina’saya. Begitu seringnya saya jalan, sehingga saya akhirnya layaknya seorang atlit. Cepat sekali, naik turun gunung bukan jadi masalah lagi.

Semua ini saya jalani tidak kurang dari dua tahun. Hidup di Gunung Butak, akhirnya menjadi bagian dari sejarah hidup saya. Hati ini sepertinya sudah menyatu dengan masyarakat sekitar sana. Saya merasakan kasihan sekali jika ada orang sakit yang harus dipikul oleh 4-6 orang berjalan sejauh 8 km untuk menuju puskesmas. Saya memang mengharapkan balas jasa atas pelayanan yang saya berikan, karena obat-obat yang saya berikan tidak saya peroleh dengan gratis. Namun saya tidak pernah memaksakan mereka untuk membayar saya dengan tarif tertentu. Alhamdulillah, saya tidak pernah merasa kekurangan secara finansial. Allah SWT Yang Menyembuhkan. Saya hanyalah perantara. Makmur sekali rasanya tinggal diantara mereka. Ibu dan adik-adik saya juga ikut merasakan buahnya.

Kala malam tiba, ditengah kedinginan hawa gunung dan bunyi jengkerik serta katak yang bersautan, saya bertanya kedalam hati ini “Benarkah ini yang kau cari? Siapkah kamu untuk tinggal disini? Gunung tanpa fasilitas yang tidak menjanjikan masa depan?” Tidak kuasa menjawabnya, saya serahkan seluruhnya kepada Allah SWT. Saya ikuti saja rutinitas yang ada. Apabila tidak ada pasien di pagi hari, sengaja saya berjalan-jalan kemana saja arah kaki ini ingin melangkah. Minimal sampai lepas sholat Asar saya baru pulang ke Gunung. Kadang bisa jadi hingga Isak. Tidak saya pungkiri, saya pernah menangis, ditengah-tengah hujan gerimis, sebelum saya menyeberang sungai kecil yang memisahkan Gunung Butak dengan sebuah kampung lainnya, saya terpeleset jatuh! Saya tidak menangisi kesakitan tubuh akibat lecet kecil di badan ini. Namun “Sampai kapan saya harus begini ya Allah…?”, kembali mengusik iman ini, antara tuntutan bersyukur dan menghadapi kenyataan.

“Pada hemat saya, anda lebih baik jangan tinggal disini terus, sekalipun kami senang dengan keberadaan anda disini yang amat membantu masyarakat kami!” begitu kata Samingan suatu hari kepada saya, meyakinkan, yang membuat hati ini terenyuh! Beberapa orang desa Salamwates sudah pernah mengunjungi rumah kami. Bahkan mereka secara berombongan datang saat menghadiri pesta pernikahan salah satu warga mereka yang lokasinya tidak jauh dari Malang, tempat kami tinggal. Lengkaplah sudah rasa persaudaraan kami.

Rupanya Allah menghendaki lain. Allah menjawab doa-doa kami, doa saya, doa Ibu, saudara-saudara saya, doa Samingan dan keluarganya. Di suatu hari yang cerah, lepas sholat Dzuhur, datang salah seorang adik saya, yang mengantarkan surat panggilan dari Jakarta. Saya akan berangkat ke Kuwait………… Berbahagiakah saya? Subhanallah…! Masyarakat Gunung Butak berkumpul pada malam harinya. Mereka adakan acara syukuran. Dan saya diminta untuk memberikan sedikit sambutan…. perpisahan!

Kami bertangisan laiknya anak kecil yang ditinggalkan orang tua. Lima orang mengantarkan saya hingga ke jalan raya, memikul seonggok beras, kelapa, kopi serta entah apa lagi……. Saya tidak tahu harus berucap apa, karena kecamuk dihati ini tidak kuasa untuk dikemukakan dalam kata-kata.

Saya tinggalkan Gunung Butak yang lewat mana Allah memberikan banyak rejeki kepada saya. Masyarakat Gunung Butak banyak memberikan pelajaran kehidupan kepada saya. Bahwa untuk menjadi ‘kaya’ orang tidak harus bertumpuk harta. Saya tinggalkan mereka dengan sejuta kenangan. Saya tinggalkan pula sebuah mushollah disana yang belum rampung digarap. Satu-satunya mushollah ditengah gunung tempat kami sholat berjamaah.

Syaifoel Hardy.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *