Bulan: September 2003

Abu Dzar al-Ghifary

Meski tak sepopuler sahabat-sahabat besar seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, namun sosoknya tak dapat dilepaskan sebagai tokoh yang paling giat menerapkan prinsip egaliter, kesetaraan dalam hal membelanjakan harta di jalan Allah. Ditentangnya semua orang yang cenderung memupuk harta untuk kepentingan pribadi, termasuk sahabat-sahabatnya sendiri. Di masa Khalifah Utsman, pendapat kerasnya tentang gejala nepotisme dan penumpukan harta yang terjadi di kalangan Quraisy membuat ia dikecam banyak pihak. Sikap serupa

Dhihya bin al-Kalabi, penyeru kaisar Romawi

Sabili No.16 Th.IX Islam, sejak dikumandangkan pertama kali oleh Rasulullah, pelan tapi pasti kian berkembang dan diakui. Untuk memperluas dakwah Islamiyah, Rasulullah SAW mengirim surat ke beberapa raja Arab dan non-Arab. Di antara raja yang mendapat seruan secara tulisan itu adalah Heraklius, kaisar Romawi. Untuk mengemban amanat ini, beliau mengutus Dhihya bin Khalifah Al-Kalabi. Setelah melakukan perjalanan cukup panjang akhirnya Dhihya tiba di istana raja Romawi. Surat Rasulullah langsung dibaca

Saad bin Abi Waqash

Diantara dua pilihan. Itulah mungkin kata yang tepat mewakili awal kisah dari Sa’ad bin Malik za-Zuhri alias Sa’ad bin Abi Waqash. Ini bukan cerita sinetron teve yang selalu mengandung materialistik, ini adalah sebuah kisah tentang seorang sahabat yang pada masa Rasulullah Saw., dikenal sebagai prajurit pilihan. Menurut Sa’ad bin Abi Waqqash, mencintai orang tua bukan berarti harus mengorbankan prinsip hidup. Itu dilakukannya saat dia telah menerima Islam yang diajarkan oleh

Salman al-Faritsi

Salman berasal dari desa Ji di Isfahan, Persia. Ia adalah anak kesayangan ayahnya, seorang bupati di daerah itu. Salman mulanya adalah penganut Majusi yang taat hingga ia diserahi tugas sebagai penjaga api. Suatu saat ia melewati sebuah gereja Nashrani yang sedang mengadakan sembahyang. Setelah masuk dan memperhatikan apa yang mereka kerjakan, Salman menjadi kagum. Ia pun bertanya tentang asal agama mereka yang ternyata berasal dari Syria. Salman mennceritakan hal ini

Ummu Habibah binti Abu Shofyan

‘Ketika Abu Sofyan berkunjung ke Madinah, ia ke rumah putrinya Ummu Habibah. Saat ia hendak duduk di atas tilam itu. Sang ayah menegur : ‘Wahai putriku, mengapa kau larang aku duduk di tilam itu?’ Ia menjawab: ‘Maaf tilam ini milik Rasululloh, sedang anda seorang musyrik. Dan saya tidak ingin seorang musyrik duduk di atasnya’. (Ibnu Ishaq dalam Sirah Nabawiyah). Abi Sofyan pemimpin Quraisy yang perkasa mengawinkan putrinya , Ramlah binti

Ummu Syariek, ketegaran mengalahkan kebodohan

“Sejak memeluk Islam gelora semangat Tufail pemimpin suku ad-Dausy untuk berdakwah pada kaumnya makin tak terbendung. Mula-mula pada istrinya, ia lansung menyodok ” dengarkanlah….. mulai detik ini engkau bukan milikku dan aku bukan milikmu.” “Mengapa demikian wahai suamiku?” Islam telah membedakan aku dan engkau! “Tidak…sebab agamamu adalah agamaku!” jawab sang isteri mantap. Seruan dakwah Tufail, disambut dingin. Kecuali oleh dua orang, Abu Hurairoh dan Abul Akr, yang menyambut hangat Abul

Zaid bin Tsabit, sekretaris pribadi Rasulullah

Di usia 13 tahun, Zaid Bin Tsabit datang menemui Rasulullah Muhammad SAW. Ia datang membawa pedang yang panjangnya melebihi tinggi badannya. Tanpa rasa takut dan dengan penuh percaya diri pemuda kecil itu memohon kepada rasulullah agar diijinkan ikut berperang. “Saya bersedia syahid untuk anda wahai rasulullah. Ijinkan saya pergi berjihad bersama anda untuk memerangi musuh-musuh Allah, dibawah panji-panji anda,” ucapnya dengan tegas. Rasulullah tertegun mendengar permintaan itu. Dengan penuh rasa

Zaidul Khair, memiliki 2 karakter yang disukai Allah

Sabili No.18 Th.IX Manusia bagai barang tambang. Mereka yang terbaik pada masa Jahiliyah, terbaik pula pada masa Islam. Milikilah dua karakter yang telah ditetapkan oleh seorang sahabat pada masa Jahiliyah, kemudian ditonjolkan pula pada masa Islam. Sahabat tersebut pada masa Jahiliyah dipanggil Zaid Al-Khail dan pada masa Islam dipanggil oleh Rasulullah SAW sebagai Zaid Al-Khair. Suatu ketika di masa Jahiliyah, Zaid Al-Khail menggembalakan unta-unta milik saudara perempuannya. Jumlahnya kira-kira seratus

Abdullah bin Abbas, muda usianya luas ilmunya

“Ya Ghulam, maukah kau mendengar beberapa kalimat yang sangat berguna?” tanya Rasulullah suatu ketika pada seorang pemuda cilik. “Jagalah (ajaran-ajaran) Allah, niscaya engkau akan menda-patkan-Nya selalu menjagamu. Jagalah (larangan-larangan) Allah maka engkau akan mendapati-Nya selalu dekat di hadapanmu.” Pemuda cilik itu termangu di depan Rasulullah. Ia memusatkan konsentrasi pada setiap patah kata yang keluar dari bibir manusia paling mulia itu. “Kenalilah Allah dalam sukamu, maka Allah akan mengenalimu dalam duka.

Asma’ binti Abu Bakar

Asma’ binti Abu Bakar r.ha. sudah memeluk Islam sejak masa-masa awal datangnya Islam. Beliau adalah saudarinya ibunda Aisyah r.ha. Suatu waktu, ketika Rasullah saw. dengan Abu Bakar r.a. telah memerintah Zaid r.a. dan beberapa orang pegawainya untuk mengambil kudanya dan keluarganya untuk dibawa ke Madinah. Asma, r.ha. berhijrah dengan rombongan tersebut. Sesampainya di Quba – dari rahim Asma r.ha. – lahirlah putra pertamanyam yakni Abdullah bin Zubair r.a. Dalam sejarah